Sabtu, 12 Februari 2011

INDAHNYA PERSAHABATAN SEJATI

Merajut tali silaturrahim adalah kewajiban setiap Muslim. Hal ini terkait dengan tuntunan untuk menjalin hubungan baik dengan sesama manusia. Maka itu, agama Islam sangat menjunjung tinggi terjalinnya persudaraan atau pertemanan. Kemuliaan menjadi milik mereka yang mampu membina pertemanan, persaudaraan dan persahabatan sejati.

Dalam persahabatan sejati, masig-masing merasa saling membutuhkan, bersedia memberi bantuan, dan senantiasa menasehati satu sama lain. Relasi semacam ini diyakini menjadi pintu gerbang bagi terwujudnya akhlak yang baik. Dalam konteks ini, Allah SWT dalam Surah al-Hujurat ayat 10-12 menetapkan jenis persahabatan.

Yakni, meliputi saudara seagama serta saudara sesama manusia. Cendekiawan Muslim, Imam al-Ghazali, lantas menekankan pada persahabatan yang berlandaskan agama. Menurut ulama besar ini, perahabatan semacam itu terjadi karena memang diinginkan dan dimaksudkan.

Menurut Nabi Muhammad, seseorang yang bersahabatan karena Allah maka dia akan masuk ke dalam golongan yang dinaungi Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya.

Oleh karena itu, tujuan dari persahabatan jenis ini tidak lagi sebaas dunia, tetapi menjangkau akhirat. Masing-masing muslim diminta mejaga sikap, perilaku, atau perkataan yang bisa menyinggung perasaan dan berujung pertikaian. Ia bahkn menegaskan, haram hukumnya seseorang Muslim berlaku kasar terhadap teman dan saudaranya. Atau lebih jauh lagi, memutuskan hubungan persaudaraan itu hingga ia menjauhi saudaranya itu.

"Tidak masuk surga orang yang memutuskan."(HR. Bukhari). Sebagian ulama menafsirkan kata memutus itu bermaknamemutuskan silaturahim. Inilah yang harus dihindari.

Sebaliknya, seorang Muslim dituntut untuk bersatu dan tidak berselisih. Meski diakui dalam pergaulan sehari-hari seringkali muncul dinamika yang membuat hubungan persahabatan dan persaudaraan menjadi renggang. Kemarahan atau rasa kesal bisa tak terhindarkan. Islam menyadari asalah ini dan sekaligus memberi panduan.

Pada dasarnya Islam tak memperkenankan seorang Muslim menjauhi sahabatnya, kecuali dalam batas tiga hari. Maksudnya, agar dalam kurun waktu itu kemarahan kedua pihak sudah mereda. Begitu selesai masa tiga hari itu, masing-masing pihak wajib berusaha memperbaiki hubungan dan menjernihkan suasana.

Jika lewat waktu tiga hari, Muslim didorong untuk berbicara dengan sahabatnya dan memberi salam. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah menyatakan jika sahabatnya itu sudah menjawab salam, kedua orang tersebut mendapatkan pahala.

Sementara itu, bagi mereka yang sengaja memutuskan hubungan, akan terhalang memperoleh pengampunan dosa serta rahmat Allah. Hadis riwayat Muslim menyebutkan, ampunan kepada mereka bakal ditangguhkan sebelum keduanya berdamai. Lantas bagaimana jika sahabat yang diberi salam tak membalasnya ?

Lebih jauh, Rasul mengatakan bahwa orang itu akan menanggung dosa. Sedangkan orang yang memberi salam, telah keluar dari dosa. Menjauhi sahabat, pernah dilakukan Rasulullah, namun itu demi meneguhkan kecintaan kepada Allah. Beliau menjauhi tiga orang sahabatnya yang tidak mau ikut dalam Perang Tauk selama 50 hari.

Mereka merasa kebingungan dan tak seorangpun yang mau bergaul dengannya. Sampai kemudian turun ayat yang menerima tobat mereka. Adapun menjauhi sahabat hanya karena kepentingan duniawi tentu tidak dibenarkan.