Jumat, 18 Juni 2010

KEKAYAAN BERUPA "KESEHATAN"

Suatu ketika di sore hari, saya menjenguk anak dari pemilik kontrakan kios yang saya sewa di daerah Kalimalang. Rumah Sakit yang saya kunjungi adalah Rumah Sakit Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Orang yang saya jenguk dan istrinya menceritakan kepada saya dan saya mendengarkan dengan penuh antusias. Ceritanya sungguh menyentuh rasa kemanusiaan dalam diri saya, dia harus rela menjalani hidup melalui transfuse darah seumur hidupnya.
Yang membuat saya terharu adalah dia sebelumnya adalah manusia ‘independen’ dalam menjalani kehidupan, namun sekarang hidupnya sangat tergantung pada sebuah alat pencuci darah. Saya jadi teringat cerita-cerita tentang penyakit ini. Ada yang telah menjalani cuci darah ini selama 18 tahun dan ada yang lebih dari itu. Biasanya mereka memiliki jiwa yang relatif tidak stabil, hal ini diakibatkan dari proses pencucian darah yang berlangsung cukup lama, mereka hilang kebebasan hidup, hingga keluhan rusaknya pembuluh nadi darah karena harus terus menerus seminggu sekali untuk terkena jarum transfuse dalam jangka waktu yang panjang.
Dan yang membuat tertegun saya adalah biaya yang relatif mahal untuk ukuran rata-rata penduduk Indonesia, sekali cuci darah menghabiskan biaya minimal satu juta rupiah, jika seminggu sekali rutin dilaksanakan minimal harus menyiapkan dana empat juta rupiah diluar obat dan biaya rumah sakit.
Banyak kisah-kisah lain yang berhubungan dengan berbagai jenis kemalangan dan penyakit. Tentu hal ini seharusnya menimbulkan rasa syukur kita atas nikmat kesehatan yang sampai detik ini masih Allah berikan kepada kita, meskipun mungkin saat ini diantara Bapak/Ibu/Saudara/Kakak/Adik tengah mengalami satu penyakit yang sampai saat ini belum diberi kesembuhan oleh Allah SWT. Yah…. Itulah kehidupan. Terkadang saya menerawang ke kehidupan ketika masih kecil. Kenangan indah sewaktu kecil sempat terlintas dalam benak pikiran saya, hingga proses kehidupan ini berjalan sampai sekarang ini yang telah memiliki kehidupan pribadi dengan tanggung jawab terhadap diri dan keluarga.
Bapak/Ibu sekalian, nikmat Allah itu terkadang baru dirasakan manusia ketika ia telah hilang dari dalam diri kita, selama nikmati itu masih berada dalam diri kita hal itu tidak dirasakan, dan seringkali dijadikan sebagai alat untuk bermaksiat kepada Allah. Na’udzu billahi min dzalik.
Dalam Al-Qur’an disebutkan mengenai ujian kesehatan juga diberikan kepada para rasul-Nya: “Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit) kemudian ia bertaubat.” (QS. Shad : 34).
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’.” (QS. Al-Anbiya : 83).
Jangan pernah menyerah!. Apapun kondisi kita saat ini, misalnya kekurangan harta, itu belum seberapa dibandingkan nikmat berupa kekayaan terbesar dalam hidup manusia, kesehatan!.
Seorang Rasul sekelas Nabi Sulaiman saja dengan kekayaan yang luar biasa diberikan kepadanya bukan hanya dari harta benda dan manusia, namun juga bangsa jin, hewan dan (maaf) setan turut menjadi bala tentaranya. Namun ketika Allah berikan penyakit, maka tidak akan bisa ia menikmati kekayaan dan kekuasaannya itu.
Begitu pula dengan kita, hal sepele saja, satu nikmati Allah berupa nafas dicabut kenikmatannya sehingga kita sakit flu, baru akan terasa sekali nikmatnya nafas lega namun ketika kita sehat tak terasa nikmat itu.
Siapa yang mau jantungnya ditukar dengan emas satu ton? Atau siapa yang ingin hatinya diambil untuk digantikan Rumah mewah berikut isinya? Atau mata kita dua-duanya diberikan kepada orang yang berani membayar 10 milyar rupiah? Maukah kita….?
Bapak/Ibu keluarga besar IKKW yang dirahmati Allah
Dalam kehidupan ini tentu sunatullah ketika kita mendapatkan kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan dari proses perjalanan hidup. Di sisi lain kita juga akan mendapatkan masalah, ujian dan musibah tapi dalam menghadapi dan penyikapannya setiap orang berbeda-beda.
Banyak yang beranggapan bahwa kesenangan dan kebahagiaan hidup adalah sebuah anugerah bagi seorang manusia, sesungguhnya di balik anugerah itu terdapat ujian hidup lainnya berupa rasa syukur, kepedulian terhadap kaum dhuafa, dan tidak bertindak mubazir dalam segala hal. Ujian berupa kesenangan kadang lebih banyak menjebak manusia dalam memaknai kehidupannya, mereka menjadi lalai dan tertipu dengan segala permainan dan godaan dunia.
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS. Muhammad : 36).
Penyikapan yang baik berupa pengendalian diri yaitu bersikap untuk menjaga diri dari hal-hal yang berlebihan, senantiasa mengingat Allah dalam semua proses dan menumbuhkan rasa syukur yang terwujud dalam perbuatan bukanlah perkara mudah. Ujian ini menjadikan manusia agar senantiasa tetap waspada dari kenikmatan yang Allah berikan dalam menjalankan kehidupannya.
Namun tidak sedikit pula penyikapan manusia yang menjadikan ujian berupa masalah hidup, musibah, kemiskinan, penyakit sebagai sebuah kehinaan hingga menyebabkan mereka terseret pada kekufuran, seperti diungkapkan dalam sebuah hadis Nabi, “Sesungguhnya kefakiran mendekatkan pada kekufuran”. Penyikapan manusia yang menjadikan masalah, ujian hidup, penyakit serta musibah sebagai kehinaan dan berujung menjadi sebuah beban maka langkah-langkah untuk mengatasinya menjadi lebih berat. Karena menjadi sebuah beban maka ia akan berusaha secepat mungkin dan tergesa-gesa untuk meringankan bebannya. Alih-alih bebannya berkurang justru yang ia rasakan semakin bertambah karena cara mengatasinya yang tidak tepat. Pertama ia merasakan memikul beban seorang diri, merasa yang paling terzhalimi di dunia dan memandang disekelilingnya dengan sinis dan memusuhi sehingga dunia terasa semakin menghimpit, gelap dan tidak menemukan solusi yang akhirnya berujung pada keputusasaan!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar