Jumat, 16 Juli 2010

LAKUKAN APA YANG KITA BISA

Ada begitu banyak tanggung jawab, tetapi terlalu sedikit yang mau mengembannya. Ada bertumpuk-tumpuk masalah, tapi tak banyak yang mau menjadi solusinya. Ada sangat banyak keruwetan, tetapi yang mampu mengurainya sangat terbatas.
Di tengah berbagai suasana buntu, terlalu sedikit orang yang bisa menjalani prinsip, “lakukan saja apa yang kita bisa”. Terlalu sedikit orang yang merdeka dan punya vitalitas, yang selalu bergairah untuk melakukan.
Beberapa rumpun masalah itu ada disekitar kita. Mungkin juga mengiringi hari-hari kita, atau menyesaki pikiran dan perasaan kita. Sebagiannya bersifat pribadi, sebagian yang lain bersifat kolektif. Uraian berikut adalah tiga peta utamanya:
Pertama, Memperbaiki Kualitas Keluarga
Keluarga adalah rumah jiwa kita. Kita boleh pergi entah kemana, tapi fitrah kita diciptakan untuk punya tempat kembali. Tempat menambatkan hati. Kesanalah, ke keluarga kita, bersama orang tua kita, atau istri kita, atau suami kita, juga anak-anak kita, hati kita selalu tertambat. Itu adalah fitrah yang tidak bisa kita ingkari.
Al-Qur’an menggambarkan tentang empat fungsi utama keluarga: Fungsi rekreasi, fungsi regenerasi, fungsi investasi dan fungsi kepemimpinan. Fungsi rekreasi ada pada cinta kasih dan rasa tentram yang ditumbuhkan Allah pada pasangan suami istri. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. Ar-Ruum: 21).
Fungsi regenerasi ada pada keberadaan anak-anak sebagai penerus keyakinan. Sebagaimana wasiat Ibrahim kepada anak-anaknya : “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memillih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Fungsi investasi, terletak pada peranan anak yang merupakan satu dari tiga hal yang masih terus mengalirkan manfaatnya ketika orang sudah mati. Yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan orang tua. Bahkan, menurut Imam Suyuthi, segala amal baik yang dilakukan anak, maka orang tuanya akan mendapat tembusan pahalanya, meskipun seandainya anak itu tidak mendo’akannya. Sebab orang tua merupakan perantara atas keberadaan mereka.
Fungsi kepemimpinan. Kaum lelaki sebagai pemimpin rumah tangga, maupun perempuan sebagai penanggung jawab property suami dan anak-anaknya. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian laki-laki atas sebahagian perempuan dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. An-Nisa : 34).
Keempat fungsi di atas terangkum dalam do’a penuh makna : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan : 74).
Sekarang, sejenak mari mengingat-ingat kembali. Apakah keempat fungsi itu ada di dalam rumah tangga kita? Adakah keempat fungsi itu tumbuh dengan baik di dalam keluarga kita? Sejujurnya, kini banyak keluarga yang letih. Jangankan untuk membangun fungsi kepemimpinan atau regenerasi. Kadang, fungsi rekreasi pun sudah tidak lagi bisa dijumpai.
Mungkin ada dari kita yang harus membenahi keluarganya dari sisi fungsi rekreasi. Salah satu bentuknya, sang suami harus punya penghasilan memadai. Sebab, nafkah merupakan representasi cinta dan kasih sayang secara lahiriyah. Untuk memiliki rumah perlu biaya. Untuk memiliki pakaian yang pantas perlu biaya. Untuk mendidik anak-anak perlu biaya. Alangkah banyak keluarga yang harus kita benahi. Alangkah banyak rumah tangga yang harus memperbaiki diri. Di rumah-rumah yang mulai pengap dan tidak ada lagi keharmonisan, kita harus belajar tentang bagaimana menjadi manusia merdeka. Kita harus memulai apa yang bisa kita lakukan. Di peta ini kita harus menggambar kembali. Di layar ini kita harus bercermin kembali. Masalahnya mungkin sangat banyak. Tapi solusi cepatnya adalah, lakukan saja apa yang kita bisa.
Bila tak ada kedamaian di rumah, maka tak ada lagi kedamaian yang sesungguhnya.

Kedua, Membenahi Masyarakat dan Negara
Seperti apa masyarakat tempat kita berada, akan mempengaruhi keadaan kita, baik atau buruknya, mudah atau sulitnya. Seperti apa kondisi negara tempat kita menjadi warganya, akan sangat berdampak pada warna hidup kita. Karenanya, bersikap masa bodoh atas keterpurukan masyarakat atau bangsa, dengan alasan apapun, sebenarnya berarti bersikap masa bodoh dengan nasib diri sendiri.
Perbaikan sebuah bangsa punya dua jalur utama. Jalur sosial kultural dan jalur politik kekuasaan. Keduanya saling terkait dan saling melengkapi. Di dua jalur utama itu kita layak bertanya, apa yang telah kita lakukan? Kita bisa menggerutu, tapi inti bangsa ini pada dasarnya adalah kita-kita juga. Di jalur sosial kultural maupun di ranah politik kekuasaan, seharusnya kita berada di salah satu dari keduanya atau malah di dua-duanya.
Jadi, lakukan saja apa yang kita bisa. Di masyarakat kita, di lingkungan kita, lingkungan tempat tinggal ataupun lingkungan tempat kerja, ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Pembenahan bisa kita mulai dari lingkungan otoritas yang kita punya, sekecil apapun otoritas itu. Terlebih bila kita ditakdirkan punya otoritas besar.

Ketiga, Memenuhi Komitmen Pribadi
Di wilayah pribadi ini, tantangan terberatnya justru karena kita bisa memulai atau tidak memulai. Karena kita bisa memillih untuk mau atau tidak mau. Komitmen diri kita sangat banyak, bentuknya adalah harapan dan cita-cita. Seperti keinginan kita untuk sukses sebagai pendidik, atau sebagai pengusaha, sebagai pakar di bidang tertentu, atau sebagai apa saja.
Memenuhi komitmen pribadi memerlukan banyak sekali ilmu. Tapi mesin utamanya tetaplah kemauan, dan tombol start-nya adalah prinsip “mulai saja apa yang kita bisa”. Memenuhi komitmen diri tidaklah ringan. Ilmu bisa dipelajari, teori bisa dicari, tapi kemauan hanya bisa didapat dengan cara pemaksaan. Bahwa kita sadar dengan kewajiban kita, komitmen kita. Tapi tetap saja kita perlu memaksa diri kita untuk melakukannya.
Cobalah untuk membuka daftar-daftar komitmen pribadi yang pernah kita canangkan. Atau mengingat-ingat komitmen yang pernah kita niatkan. Kita akan temukan, bahwa komitmen-komitmen yang belum terlaksana, sebab utamanya karena kita tidak pernah memulai untuk menjalaninya. Bila perbaikan keluarga godaannya adalah gengsi dan status, bila perbaikan masyarakat dan bangsa godaannya adalah banyak bicara sedikit kerja, maka godaan dalam pemenuhan komitmen pribadi adalah tipuan kesempurnaan. Maksudnya, seringkali kita tidak segera memulai dengan alasan semuanya belum sempurna, belum lengkap. Padahal menjadi sempurna adalah fase yang tak akan pernah bisa kita lalui. ■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar